Riwayat Hidup Tan Malaka
28. 7. 2008
Riwayat Hidup Tan Malaka
Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda.
Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai.
Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.
Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai.
Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.
Perjuangan
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam
gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk
miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda
cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai
pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu
juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi
anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem
tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis,
gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan
keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang
pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas
bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk
mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk
penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak
jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia
kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda,
Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid
untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan;
ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah
itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu
bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada
usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada
gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para
buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi
pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang
ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan
yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan
para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum
sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka
pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan
gigih dalam pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia
sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul
dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya
atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan
Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program
dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern
seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh
kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil
Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia
meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka
dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan
hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.
Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan
Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat
Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya
merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di
Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda
dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan
ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke
Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda
untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka,
sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang
sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama
bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu
itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota
Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan
Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI).
Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik
Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di
Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di
Kowloon, Hong Kong, April 1925.
Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan
Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya
daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat
sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan
Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…."
Madilog
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir,
dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan
metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai
bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah
lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama
adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat
materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif
sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang
pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara
rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada
secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat
menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari
oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi
nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana
mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia
dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis
dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun
1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.
Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi
semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial,
kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi,
1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an
serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam
gagasan-gagasan serta perjuangannya.
Pahlawan
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan
penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan
Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah
tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948
dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan
begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat
parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan
Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir
dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan
Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.
Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka
hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah
perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa
Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan
Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan
Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda
Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.
Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk
Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali
merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di
lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen,
Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.
Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang
ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan
Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
Tan Malaka dalam fiksi
Dengan julukan Patjar Merah Indonesia Tan Malaka
merupakan tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit di Medan.
Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang
aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air-nya,
Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus
melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia
internasional.
Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah
roman karangan Matu Mona yang berjudul Spionnage-Dienst (Patjar Merah
Indonesia). Nama Pacar Merah sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy
yang berjudul Scarlet Pimpernel, yang berkisah tentang pahlawan
Revolusi Prancis.
Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka
muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya, yaitu Muso (sebagai Paul
Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky), Semaun (Semounoff), Darsono
(Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin) dan Soebakat (Soe Beng Kiat).
Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia, terutama di Sumatera.
Beberapa judul kisah Patjar Merah:
Matu Mona. Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Medan (1938)
Matu Mona. Rol Patjar Merah Indonesia cs. Medan (1938)
Emnast. Tan Malaka di Medan. Medan (1940)
Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940)
Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940)
Matu Mona. Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Medan (1938)
Matu Mona. Rol Patjar Merah Indonesia cs. Medan (1938)
Emnast. Tan Malaka di Medan. Medan (1940)
Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940)
Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar